Praktikum kali ini mengenai karakteristik fisik dan mekanik. Praktikum yang dilakukan yaitu menguji tekstur pangan menggunakan texsture analyzer. Pengujian tekstur makanan merupakan upaya penemuan parameter tekstur yang tepat yang harus menjadi atribut mutu makanan yang bersangkutan, kemudian menentukan istilah populer yang paling sesuai dalam kategori parameter tersebut disertai dengan tambahan keterangan untuk menyatakan tingkatannya (Hardiman, 1991). Faktor yang mempengaruhi tekstur bahan pangan antara lain perbandingan kandungan protein-lemak, jenis protein, gula reduksi, suhu pengolahan dan kadar air (Purnomo, 1995). Semakin tinggi kadar air, maka sampel akan lebih lunak. Jika kadar air lebih rendah, maka sampel akan keras. Semakin tingi gula reduksi pada sampel, maka sampel akan lebih keras.
Menurut deMan (1999), batasan-batasan dalam tekstur ada 4, yaitu sebagai berikut.
Konsistensi
Menunjukkan segi-segi tekstur yang berkaitan dengan aliran dan deformasi.
Kekerasan
Ketahanan terhadap deformasi.
Kerapuhan
Sifat kertakan atau kepatahan sebelum aliran yang bermakna terjadi.
Kelekatan
Sifat permukaan yang berkaitan dengan adhesi anatra bahan dengan permukaan yang berdampingan.
Sedangkan menurut Enquiry (2014), batasan-batasan dalam tekstur antara lain di bawah ini.
Kerapuhan
Merupakan suatu gaya yang menybabkan keretakan atau kepatahan.
Konsistensi
Merupakan segi tekstur yng berkaitan dengan suatu aliran dan deformasi.
Kelekatan
Kelekatan menyangkut daya tarik materi sejauh mana materi dapat ditarik.
Kekerasan
Kekrasan diperlukan dalam memampatkan suatu materi sehingga resisten terhadap deformasi.
Metode TPA (Texture Profile Analyzer) berbasis kompresi atau tekanan pada sampel beserta alat texture analyzer digunakan untuk menilai tekstur secara objektif dengan probe berbentuk silindris dengan diameter sekitar 35 mm (Kim, 2014). Prinsipnya adalah pengukuran suatu profil tekstur dengan cara merekam gaya yaitu merekam gaya regangan dari gerakan bolak-balik suatu benda yang mendeformasi sampel (Enquiry, 2014). Texture Profile Analysis (TPA) merupakan bentuk penilaian obyektif dari analisis tekstur secara sensori.
Texture analyzer adalah alat yang terkait dengan penilaian dari karakteristik mekanis suatu materi, dimana alat tersebut diperlakukan untuk menentukan kekuatan materi dalam bentuk kurva. Prinsip dari tekstur analizer adalah untuk menentukan sifat fisik bahan yang berhubungan dengan daya tahan atau kekuatan suatu bahan terhadap tekanan (Smewing, 1999). Sampel yang digunakan adalah marsmallow, roti, keju cake, chitato, tortilla chips dan biskuit.
Gambar 1. Tekstur Analizer
Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017
Cara kerja dari Teture Analyzer ini adalah dengan cara menekan atau menarik sampe;, melalui sebuah probe yang sesuai dengan aplikasi yang dikehendaki (Raharjo, 2009). Probe yang digunakan dalam praktikum adalah P6 dan P36.
Probe 6 ukurannya lebih kecil daripada probe 36, semakin besar nilai probe semakin besar pula ukuran probe tersebut. Ukuran probe harus disesuaikan dengan sampel yang akan diuji. Probe P36 diartikan bahwa probe ini memiliki diameter sebesar 36 mm, sedangkan probe P6 memiliki diameter 6 mm (Hamzah dan Wong, 2012). Probe 6 pada praktikum kali ini digunakan untuk sampel chitato, tortilla chips dan biskuit, sedangkan probe 36 digunakan untuk sampel marsmallow, roti, dan keju cake. Sehingga semakin kecil ukuran probe, semakin rapuh atau semakin tipis produk yang diuji, sedangkan semakin besar ukuran probe semakin tebal produk yang akan diuji. Langkah-langkah pengoperasian Texture Analyzer, yaitu :
LFRA tekstur analyzer dan seperangkat komputer (monitor, keyboard, CPU (central processing unit), mouse, dan printer) dinyalakan.
Sampel diukur ketebalannya dengan menggunakan penggaris
Probe spesifik yang sesuai dengan sampel diletakkan di tempat probe
Sampel diletakkan di atas meja benda atau meja objek, lalu discroll sampai sampel berhimpit dengan probe, kemudian sampel diambil
Program tekstur pro lite dibuka dari komputer
Pilih LFRA, pilih define new test, lalu masukkan tipe probe yang sesuai dengan sampel
Tunggu dialog box muncul. Lalu yang harus diisi di bagian Procedure yaitu trigger point, test speed 0,5 mm/s, target value 12 dari ketebalan sampel (mm), probe type diisi dengan TA dengan yang digunakan, target test pilih sesuai dengan tekstur sampel (TPA atau compression).
Di bagian tekstur result, terdapat 3 bagian : Primary Calculations ceklis bagian Hardness cycle 1, Secondary calculations ceklis bagian work done to hardness 1, Additional calculations ceklis bagian Sample length.
Pilih general result lalu ceklis semua bagian standard result.
Klik save, lalu alat akan melakukan kalibrasi sebelum sampel diletakkan.
Setelah kalibrasi selesai letakkan kembali sampel di meja objek.
Klik Run test pada layar komputer, tunggu beberapa menit mesin akan melakukan perhitungan.
Pengukuran tekstur terbaca oleh komputer, kemudian data kurva disimpan, lalu diprint.
Hal yang perlu diperhatikan saat akan melakukan analisis dengan texture analyzer adalah pemilihan trigger dan probe yang tepat. Trigger dan probe yang digunakan untuk menguji material harus disesuaikan dengan karakteristik material tersebut. Kurva hasil pembacaan texture analyzer tersebut akan merepresentasikan data-data yang diperlukan untuk mengetahui karakteristik fisikokimia produk akhir, sehingga kualitas tekstural produk dapat diketahui. Kurva hasil pembacaan texture analyzer dapat dilihat pada Gambar 2 dan data-data yang dapat dibaca dari kurva tersebut antara lain:
1. Hardness (tingkat kekerasan): ditunjukan oleh puncak tertinggi pada kurva.
2. Crispiness (tingkat kerenyahan): merupakan hasil bagi antara nilai tingkat kekerasan dan nilai rata-rata dari semua titik (H1 / HAV).
3. Quantity and number of fractures (karakteristik saat dipatahkan atau tingkat kerapuhan): ditunjukan oleh puncak pertama pada kurva.
Gambar 2. Contoh Kurva Hasil Pembacaan Texture Analyzer
(Handoko, 2011)
Karakteristik fisik seperti kekerasan (hardness) dan fracturability termasuk ke dalam kajian reologi produk. Karakteristik ini perlu dipelajari karena dapat mempengaruhi bentuk fisik, tekstur, penampakan dan kerenyahan secara organoleptik produk biskuit yang dihasilkan. Hardness dan fracturability dipandang sebagai dua indikator penting dalam menganalisis tekstur makanan terutama dalam produk-produk baked seperti roti dan biskuit (Pratama dkk., 2014).
Selain menggunakan tekstur analizer, pengukuran tekstur juga dapat dilakukan dengan penerometer. Penetrometer adalah alat yang hanya dapat mengukur tekstur pangan dengan cara menusukkan jarum ke dalam sampel. Nilai yang ditampilkan menunjukkan nilai kekerasan sampel. Adapun kelemahan alat penetrometer adalah hanya mengandalkan jarum untuk menusuk sampel sehingga sampel yang keras tidak dapat menggunakan penetrometer.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakateristik Mekanik Bahan Pangan
Hasil dari praktikum dapat langsung ditentukan dari grafik yang dihasilkan. Parameter hardness ditunjukkan oleh puncak grafik yang paling tinggi. Hardness merupakan kekerasan telah didefinisikan sebagai daya tahan terhadap deformasi (deMan, 1999).
Gumminess berkaitan dengan nilai hardness dan cohesiveness. Gumminess didefinisikan sebagai energi yang diperlukan untuk mengecilkan ukuran bahan makanan semi solid hingga siap untuk ditelan (deMan, 1999). Gumminess menunjukkan bertahannya kemampatan bahan semisolid sebelum pengunyahan, bahan semisolid di mulut digerakkan diantara lidah dan langit-langit rongga mulut.
Chewiness selain berkaitan dengan parameter hardness dan cohesiveness juga dipengaruhi oleh nilai springiness. Firmness adalah gaya yang diberikan kepada objek hingga terjadi perubahan bentuk (deformasi) pada objek (deMan, 1999). Perbedaan gumminess dan chewiness adalah gumminess hanya terdapat pada produk semi padat, sedangkan chewiness hanya dapat diamati pada produk yang padat. Perbedaan dengan hardness yaitu untuk produk yang padat, sedangkan firmness untuk produk yang berongga.
Cohesiveness adalah kekuatan dari ikatan-ikatan yang berada dalam suatu obyek yang menyusun "body" dari obyek tersebut. Springiness atau elastisity adalah laju suatu obyek untuk kembali ke bentuk semula setelah terjadi deformasi (perubahan bentuk). Pengukuran nilai springiness bertujuan untuk menentukan seberapa produk dapat kembali ke kondisi awal setelah diberi tekanan pertama kali (Szczesniak, (2002).
Resillience adalah suatu ketahanan atau gaya pegas pada suatu produk. Produk yang memiliki nilai resilience biasanya cenderung elastis atau dapat ditarik. Nilai resilience didapatkan dari perbandingan area saat sampel mengalami penekanan dan saat sampe sudah mengalami break (Area 2-5 : Area 0-2).
Fracturability adalah titik dimana besarnya gaya yang diberikan membuat objek menjadi patah (break/ fracture). Fracturability sangat berkaitan dengan hardness dan cohesiveness. Fracturability ditunjukkan pada puncak pertama yang muncul yang menunjukkan bahwa pada tahap ini bahan sudah mulai pecah atau hancur.
Marsmallow
Marsmallow adalah panganan kecil seperti permen tetapi lembut, empuk, ringan dan manis yang terbuat dari gula, gelatin sapi, pati jagung, sirup jagung dan air. Hasil pengamatan dalam tabel 1 menunjukkan bahwa sampel marsmallow 1 dan marsmallow 2 memiliki nilai hardness yang paling rendah dibandingkan biskuit yaitu sebesar 0,581 dan 0,510 sehingga rata-ratanya diperoleh 1,091.
Nilai gumminess, chewiness, cohesiveness, springiness, dan resillience hanya terdapat dalam marsmallow. Hal ini dapat disebabkan air yang masuk kedalam granula lebih banyak. Keberadaan air yang lebih banyak dapat meningkatkan nilai cohesiveness produk sehingga dapat menahan tekanan lebih kuat (Hattunisa RS, 2011).
Nilai gumminess marsmallow lebih besar dibandingkan sampel lain, hal ini dikarenakan nilai gumminess dipengaruhi oleh nilai kekerasan produk. Penggunaan pati yang semakin banyak akan meningkatkan nilai hardness marsmallow, sehingga nilai gumminess juga semakin tinggi.
Caine et al. (2003) menyatakan jika chewiness dipengaruhi oleh nilai kekerasan produk, semakin tinggi kekerasan produk, maka nilai chewiness produk pun semakin tinggi. Nilai chewiness yang tinggi dapat menunjukkan kualitas tekstur marsmallow yang baik (Felicia, 2010).
Umumnya marsmallow dilapisi oleh pati jagung yang juga cenderung menghasilkan tekstur pangan yang kenyal sehingga menghasilkan nilai springiness (Watson, 1984). Nilai firmness dan fracturability tidak diperoleh. Hal ini dapat disebabkan karena sampel marsmallow merupakan produk semi padat.
Roti
Roti adalah makanan yang terbuat dari tepung terigu, air, dan ragi yang pembuatannya melalui tahap pengulenan, fermentasi (pengembangan) dan pemanggangan dalam oven (Sufi, 1999). Sampel roti hanya memiliki nilai firmness. Hal ini disebabkan karena tekstur dari kedua yang sampel yang berongga.
Keju cake
Cake adalah produk makanan semi basah yang dibuat dengan pemanggangan adonan yang terdiri dari tepung terigu, gula, telur, susu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Sama seperti roti, sampel keju cake hanya memiliki nilai firmness karena teksturnya yang berongga. Namun kedua sampel tersebut memiliki nilai yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh adanya perbedaan formasi gluten yang berikatan pada adonan dan adanya penangkapan gas pada fermentasi khamir, serta proses pemanggangan (Cauvain, 2015).
Chitato
Sampel chitato hanya memiliki nilai frakturability, tetapi nilainya lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai fracturability pada tortilla chips. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan komposisi bahan pada pembuatan serta sifat kentang pada saat mentah dan kondisi manufaktur merupakan faktor penting yang menentukan kerenyahan pada keripik kentang (Salvador et al., 2009).
5. Tortilla chips
Sampel tortilla chips hanya memiliki nilai frakturability. Hal ini disebabkan karena proses pengolahan tortilla menggunakan tepung terigu dengan protein yang rendah (8-9%) sehingga akan menghasilkam produk yang lebih rapuh dan kering (Rohimah, 2014).
6. Biskuit
Sampel biskuit memiliki nilai hardness paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit membutuhkan gaya yang cukup besar sampai mengalami deformasi atau perubahan bentuk. Dalam pembuatan biskuit, bahan yang digunakan adalah telur sebagai bahan tambahan dan tepung terigu yang dapat mempengaruhi proses pembuatan adonan. Penggunaan 100% tepung terigu menyebabkan tekstur biskuit menjadi lebih keras (Rohimah, 2014).
Biskuit hanya memiliki nilai hardness dan fracturability. Nilai fracturability biskuit 1 dan 2 berturut-turut sebesar 4,223 dan 4,318 sehingga rata-ratanya 4,2705. Nilai fracturability biskuit merupakan nilai yang terendah diantara sampel lainnya. Hal ini dapar disebabkan proses pengadonan, adanya pemilihan tepung yang khas, kandungan gula dan juga proses fermentasi oleh khamir melalui ragi yang ditambahkan pada adonan tersebut. Tekstur biskuit juga dapat dipengaruhi oleh ikatan antara komponen mikrostruktur antara pati dengan protein (Flint, 1970).
BAB V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum kali ini adalah sebagai berikut.
Marsmallow memiliki nilai hardness yang paling rendah dibandingkan biskuit, Nilai gumminess, chewiness, cohesiveness, springiness, dan resillience hanya dimiliki sampel ini. Nilai firmness dan fracturability tidak diperolehdalam sampel marsmallow.
Roti dan keju cake hanya memiliki nilai firmness. Nilai firmness sampel keju lebih besar daripada roti.
Chitato hanya memiliki nilai frakturability, tetapi nilainya lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai fracturability pada tortilla chip.
Biskuit memiliki nilai hardness paling tinggi, dan fracturability paling rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Caine, W. R., J. L. Aalhus, D. R. Best, M. E. R. Dugan, and L. E. Jeremiah. 2003. Relationship of texture profile analysis and Warner-Bratzler shear forcewith sensory characteristics of beef rib steaks. Meat Sci. 64: 333-339.
Cauvain, S. 2015. Technology of Breadmaking. Ed. 3. Springer International Publishing, London.
deMan, M.J. 1993. Kimia Makanan. ITB, Bandung, pp. 190-195.
Enquiry. 2014. Texture Analyzer. http://www.bestech.com.au/texture-analyzers/ (Diakses tanggal 18 Mei 2017 pukul 23.15 WIB)
Felicia. 2010. Penggunaan Pati Sagu Termodifikasi Dengan Heat Moisture Treatment (HMT) Untuk Meningkatkan Kualitas Tekstur Bakso Daging Sapi. Skripsi.Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian.
Flint, F.O. 1970. A Comparative Study of the Micro-Structure of Different Types of Biscuits and Their Doughs. CCFRA Report 44.
Hamzah, Y., dan F. L. Wong. 2012. Physicochemical Properties and Acceptance of High Fibre Bread Incorporated with Corn Cob Flour. As. J. Food Ag-Ind. 5(6) : 547-553.
Handoko, T. 2011. Pengaruh Jenis Daging, Jenis Tepung Beras, dan Rasio dalam Formulasi dan Rheologi Adonan Pakan Anjing. Jurnal UNPAR 1(5) : 118.
Hardiman, 1991. Kumpulan Handout: Tekstur Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM, Jogjakarta.
Hattunisa RS. 2011. Optimasi Proses Dehidrasi dan Formulasi Bahan TambahanPangan pada Mi Jagung Instant dengan Metode Ekstrusi. Skripsi. InstitutPertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian.
Kim Y, Wiesenborn P.2014. Starch Noodle Quality As Related To Potato Genotype. J. Food Sci. 61:248-252.
Pratama, R. I., Rostini, I., dan Liviawaty, E. 2014. Karakteristik Biskuit dengam Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus sp.). Jurnal Akuatika 5(1) : 30-39.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Raharjo, B. Wahid, A. 2009. Model Kinetika Perubahan Sifat Mekanis Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) selama pemasakan bertekanan (Puffing) dan pengovenan. dalam seminar nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, 8-9 Agustus 2009. Mataram. hal 226-241.
Rohimah, I. 2014. Analisis Energi dan Protein serta Uji Daya Terima Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele. Universitas Sumatera Utara.
Salvador, A., P. Varela, T. Sanz, dan S.M. Fiszman. 2009. Understanding Potato Chips Crispy Texture by Simultaneous Fracture and Acoustic Measurements, and Sensory Analysis. LWT - Food Science and Technology 763-767 : 42.
Smewing, J. 1999. Hydrocolloids in Food Texture : Measurement and Perception, Aspen Publisher, Gaithersbrug.
Sufi, S. Y., 1999. Kreasi Roti. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Szczesniak AS. 2002. Texture is a sensory property. J of Food Quality and Preference 13(2) : 215-225.
Watson, S.A. 1984. Corn and Sorghum Starches : Production. Dalam R.L. Whistler, J.N. BeMiller & E.F. Paschall, ed. Starch : Chemistry and Technology. Ed. 2. Academic Press, San Diego.