Filsafat Teknologi/17 Mei 2013/Studia Humanika/Masjid Salman ITB
I. Pengantar Filsafat Teknologi
Instruktur: Budi Hartanto
Studia Humanika/Salman ITB
Definisi empiris teknologi.Teknologi melipui alat-alat/artefak yang digunakan untuk survive. Pakaian, shelter/rumah, agriculture, senjata (tombak/ kapak). Teknologi juga dapat dimaknai dalam arti civil engineering seperti arsitektur bangunan, jembatan, menara, dan infrastruktur peradaban lainnya. Pada masa modern teknologi identik dengan mesin yang mempunyai kapasitas memproduksi massal dan transportasi. Pada masa kontemporer, terma ini menjadi tren yang merujuk pada teknologi informasi dan komunikasi: satelit, komputer, ponsel/smartphone. Ia dapat juga bermakna persenjataan. Dan yang utama yang berpengaruh terhadap perkembangan pengetahuan manusia adalah dalam arti instrumen-instrumen dalam teknik dan sains. Sehingga ada bermacam-macam citra tentang teknologi.
Teknologi menurut Val Dusek (2006): Three definitions or characterizations of technology are: (a) technology as hardware; (b) technology as rules; and (c) technology as system. Teknologi dalam arti hardware meliputi mesin, alat-alat, dan artefak lainnya yang berciri teknis. Teknologi dalam arti aturan-aturan adalah rasionalitas berorientasi tujuan dan pemecahan masalah (rasionalisasi). Hal ini meliputi manusia dan artefak teknologi. Sedangkan teknologi sebagai sistem adalah teknologi yang bersifat konstektual terhadap lingkungannya atau teknologi lainnya dalam arti ini ia adalah bagian dari sistem kebudayaan.
Definisi non-empiris dari teknologi dijelaskan oleh Heidegger. Heidegger mendefinisikan teknologi sebagai techne yang bermakna penyingkapan/revealing (alethia). Teknologi adalah teknik mengungkap sesuatu yang baru. Teknologi dalam arti techne di sini mempunyai kesamaan dengan kreatifitas yang merupakan konsep sentral dalam seni. Yang disingkapkan adalah dunia teknis artefak teknologi.
Teknologi sebagai aktivitas untuk menggapai tujuan dan teknik memecahkan masalah (a means to end) menurut Heidegger adalah teknologi dalam arti instrumental dan antropologis (1977: 5). Makna antropologis teknologi ini menurut Heidegger dapat dijelaskan ke dalam empat sebab filsafat Aristotelian: 1) Causa materialis: terbuat dari apa artefak teknologi. 2) Causa formalis: bentuk atau forma artefak. 3) Causa finalis: wujud final artefak. 4) Causa efesien: tujuan atau penggunaaan artefak.
Esensi teknologi dalam arti enframing menempatkan artefak-artefak sebagai standing reserve, teknologi adalah realitas dimana manusia menjadi bagian darinya. Teknologi sebagaimana alam menyingkapkan dirinya sebagai yang bersifat teknologis. Perlu dibedakan dengan teknologi dalam arti antropologis atau sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan.
Teknologi dalam nalar Heideggerian kemudian dimengerti sebagai Teknologi huruf kapital T. Definisi Heideggerian yang berciri esensialis menempatkan teknologi sebagai entitas universal seperti halnya alam. Sampai masa kontemporer definisi teknologi sebagai yang bersifat universal ini masih menjadi landasan dalam filsafat teknologi bahkan dalam teori-teori ilmu sosial. Seperti misalnya dalam pemikiran Jacques Ellul, Habermas, Hans Jonas dll.
Don Ihde (1990) menjelaskan teknologi sebagai bagian dari kebudayaan. Sehingga tidak ada teknologi dengan huruf kapital atau dengan makna universal, melainkan teknologi yang bersifat partikular dan berada dalam konteks kebudayaan. Teknologi adalah bagian dari artefak-artefak kultural. Dengan demikian dalam pemikiran Ihde, berbicara tentangnya adalah selalu melibatkan manusia dalam relasinya dengan kebudayaan.
Rasionalitas Teknologi
Penelitian dalam arkeologi dan antropologi menyatakan bahwa manusia survive dan berevolusi membentuk peradaban dengan instrumen teknis.
Zaman Batu (Paleolithicum) 700.000 BC adalah awal manusia menggunakan instrumen teknis. Batu dengan bentuk yang khas menjadi alat yang digunakan untuk mengupas, memecah dan memotong. Batu adalah instrumen yang digunakan untuk memudahkan manusia dalam menghadapi dunianya.
Zaman Perunggu 6000 BC menandakan awal kemajuan teknologi dalam hal kerja logam. Perunggu menggantikan batu sebagai alat. Alat-alat dari perunggu ini meliputi kapak, pisau, pahat, tombak.
Zaman Besi 1200 BC menggantikan zaman perunggu. Besi adalah material yang lebih kuat dibandingkan dengan perunggu dan karena itu menjadi tren menggantikan perunggu. Kerja logam dengan bahan material besi meluas ke dalam banyak bentuk artefak. Mulai dibuat artefak seni dalam bentuk ornamen-ornamen. Bentuk artefak lebih detail terutama dalam hal persenjataan. Ilmu metalurgi mendapat pijakannya pada zaman besi ini.
Ketika mesin-mesin mulai diciptakan citra teknologi menjadi kompleks. Teknologi tidak lagi dikenali sebagai mimesis kemampuan tubuh manusia. Kompleksitas mesin membentuk perspektif teknologi (mesin) sebagai yang lain yang berhadapan dengan manusia. Fenomena ini dapat kita lihat dalam sejarah, misalnya pada masa revolusi industri, yaitu dengan munculnya gerakan antimesin. Mesin diasumsikan telah merenggut kerja-kerja manusia dan mengakibatkan hilangnya kebebasan serta daya kreativitas. Karena kompleksitasnya, mesin sebagai teknik tertentu untuk menggapai tujuan dikatakan telah meninggalkan ciri kemanusiaannya. (dikutip dari buku DPM 2013).
James Watt (1736-1819) menemukan mesin uap yang kemudian digunakan dalam teknologi permesinan dan transportasi. Mesin uap telah ada sebelumnya, namun rancangan James Watt dikatakan lebih teknologis. Mesin rancangannya menjadi standard mesin uap modern yang digunakan dalam dunia perindustrian.
Setelah mesin uap yang bekerja dengan cara pembakaran eksternal, mesin pembakaran internal ditemukan dengan menggunakan minyak dan bensin. Mesin uap tergantikan dengan mesin yang bekerja dengan cara pembakaran internal. Teknologi transportasi seperti kereta, mobil, dan kapal kemudian tidak lagi menggunakan uap, melainkan menggunakan bahan bakar minyak.
Bila pada mulanya teknologi tercipta seturut moda survival, maka pada masa kontemporer—dengan moda penyingkapan dunia teknis lewat sains—teknologi dimengerti sebagai yang memperluas cakrawala pengetahuan. Penciptaan instrumen teknologis dalam sains kontemporer, misalnya, menjadi medium untuk merepresentasikan realitas yang tak dapat dipersepsi. Realitas dalam instrumen dan logika yang dihasilkannya memperluas cakrawala kita tentang dunia-kehidupan. Rasionalitas instrumen kemudian menjadi nyata tidak hanya pada dimensi teknisnya, melainkan juga pada realitas yang dikondisikannya.
Perkembangan dimensi teknis artefak teknologi pada masa modern diiringi dengan perkembangan sistem dan rasionalitas yang mengondisikan peradaban teknologis. Karena itu dalam kenyataannya pada masa modern memahami teknologi adalah tidak hanya sebatas artefak, melainkan juga melibatkan rasionalitas manusia sebagai pengguna artefak. Manusia dan teknologi menjadi sistem kesatuan yang kemudian mencirikan sebuah peradaban teknologis. Instrumentalisme teknis/teknologis selalu mengandaikan sebuah rasionalitas yang tanpanya teknologi tidak menjadi sesuatu yang bersifat teknologis.
Kritik Eksistensialisme
Heidegger
Heidegger (1889-1976) adalah filsuf eksistensialisme yang menerangkan sebuah filsafat teknologi. Ia menjelaskan fenomena teknologi sebagai realitas yang dimaknai secara esensial sebagai yang berperangaruh terhadap kehidupan manusia.Realitas teknologi menurut Heidegger adalah mode of being.
Heidegger mentransformasikan pemikiran Husserl tentang intensionalitas. Bahwa intensionalitas tidak hanya relasi manusia dan dunia atau lingkungannya sebagai syarat sebuah kesadaran, melainkan praksis-teknologis yang menentukan adanya manusia di dunia (1979: 117). Kritik Heidegger terhadap Husserl dalam hal ini kurang lebih sama dengan Karl Marx yang mentransformasikan pemikiran Hegel. Praksis menjadi keutamaan dalam pemikiran filsafat teknologinya. Namun praksis-teknologis tindakan manusia ini berada dalam dimensi eksistensialnya alih-alih dimensi kognitifnya.
Keberadaan manusia dengan struktur eksistensialnya (istilah Heidegger Dasein) dalam dunia dan relasinya dengan dunianya (artefak teknologi) ditentukan oleh konsep ready-to-hand dan present-at-hand. Konsep ini menjadi pemikiran utama Heidegger yang menjelaskan tentang bagaimana Dasein mengada/mengatasi dunianya. Dalam ready-to-hand, dunia (atau entitas-entitas dalam dunia) dipahami sebagai bukan yang asing/berjarak melainkan sebagai sesuatu yang dapat dihidupi atau dijalani. Struktur dunia kehidupan modern mensyaratkan eksistensi teknologi. Realitas teknologis adalah ready-to-hand dalam arti ia digunakan dan tidak berjarak secara eksistensial. Sedangkan present-at-hand adalah dimensi realitas yang berjarak atau ia ada sebagai entitas-entitas dalam dunia atau just there reality. Present-at-hand belum terdomestikasi dan dikenali sebagai struktur aktivitas keseharian Dasein.
Teknologi menurut Heidegger adalah sebuah penyingkapan yang ia jelaskan sebagai kebenaran. Ia bukanlah segala hal yang bersifat teknologis, melainkan ketika dunia teknologi mencipta kebaruan pengalaman dalam hal praksis teknologis. Relasi manusia dan teknologi menjadi sentral dalam memaknai teknologi sebagai penyingkapan, maknanya secara mendasar dapat dipahami berada dalam wilayah ontologis. Dibedakan dengan teknologi sebagaimana makna awamnya (antropologis dan instrumental). Dalam pemikirannya teknologi adalah fenomena yang merupakan refleksi dari mengadanya manusia di dunia. "Technology is therefore no mere means. Technology is a way of revealing. If we give heed to this, then another whole realm for the essence of technology will open itself up to us. It is the realm of revealing, i.e., of truth." (1977: Hal. 12).
Selain itu esensi teknologi modern dirumuskan sebagai enframing. Enframing dalam filsafat teknologi Heidegger adalah ketika teknologi dimengerti sebagai esensi yang membentuk pola-pola praksis-teknologis yang kemudian menyingkap yang realitas, baik itu dalam konteks relasi manusia dengan sains dan teknologi atau ketika teknologi itu sendiri dipahami sebagai realitas yang terkondisikan. Kata Heidegger "Enframing means the gathering together of that setting-upon which sets upon man, i.e., challenges him forth, to reveal the real, in the mode of ordering, as standing-reserve. Enframing means that way of revealing which holds sway in the essence of modern technology and which is itself nothing technological." (1977: Hal. 20).
Esensi teknologi modern dalam arti enframing menempatkan artefak-artefak sebagai standing reserve, teknologi adalah realitas dimana manusia menjadi bagian darinya. Teknologi sebagaimana alam menyingkapkan dirinya sebagai yang bersifat teknologis. Perlu dibedakan dengan arti antropologis atau sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan. Teknologi menyingkap kenyataan.
Walaupun dalam perkembangannya sains tak dapat dipungkiri menjadi syarat keterciptaan artefak teknologi. Dengan konsep enframing Heidegger membalikkan pemikiran bahwa teknologi modern dikondisikan oleh sains. Pada masa modern ketika ia dipahami secara esensial sebagai bagian dari kehidupan atau alam itu sendiri, sebenarnya menurut Heidegger teknologilah yang mengkondisikan perkembangan sains.
Ia bersikap pesimistis berkenaan dengan kemajuan teknologi modern. Dalam The Question Concerning Technology ia mengatakan, "What is dangerous is not technology. There is no demonry of technology, but rather there is the mystery of its essence" (1977: Hal. 28) [Yang berbahaya itu bukanlah teknologi. Tak ada hal jahat pada teknologi, yang ada itu misteri mengenai esensinya].
Menurutnya ada misteri pada esensi teknologi, yaitu ketika ia dikatakan berpotensi mencerabut kebebasan dan autentisitas manusia. Misteri dalam nalar Heideggerian ini adalah hal yang tidak dapat diprediksikan atau bersifat laten yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi, terutama dalam hal penyingkapan dunia teknis. Kecepatan, misalnya, telah membentuk paradigma yang tak terpikirkan sebelumnya. Kecepatan mengubah dan mengondisikan bagaimana manusia memandang dunianya. Atau kondisi enframing itu sendiri yang menjadikan dunia sedemikian rupa sebagai standing reserve. Sains modern dikondisikan oleh esensi teknologi sebagai sebuah enframing. Instrumen-instrumen teknis yang dipahami sebagai realitas atau bagian dari dunia dimana manusia hidup menentukan cakrawala pengetahuan.
Teknologi menjadi berbahaya dalam pemikirannnya bukan pada potensi teknologi yang merusak seperti misalnya senjata nuklir, melainkan pada misteri yang mempengaruhi esensi manusia. Enframing dalam arti mode of ordering membawa manusia pada kondisi ketika ia tidak lagi bisa berada dalam kondisi alamiahnya. Manusia diandaikan menjadi bagian dari teknologi atau sebagai standing reserve/resource.
Hans Jonas
Hans Jonas (1903-1993) adalah filsuf eksistensialis yang merumuskan etika masa depan yang berorientasi pada lingkungan. Kemampuan kita untuk mempersiapkan atau mengantisipasi secara etis kerusakan bumi menjadi sentral dalam pemikirannya.
Pentingnya etika masa depan menurut Hans Jonas diketahui dengan bermula dari "heuristic of fear". Ketakutan yang bersifat heuristik (atau diketahui dengan sendirinya) akan potensi teknologi yang akan merusak bumi dan menguasai kehidupan manusia menjadi acuan dalam memahami pentingnya etika baru Hans Jonas. (1979: 138). Dalam pemikiran Jonas heuristik of fear menyadarkan manusia akan bahaya laten dari teknologi.
Teknologi dalam pemikiran Hans Jonas bersifat non-neutral. Ia berpengaruh terhadap kehidupan dan terutama nilai kealamiahan manusia. Teknologi mencerabut esensi manusia yang pada dasarnya bersifat alamiah atau bagian dari alam. Ia menjadi ancaman tidak hanya pada potensinya yang merusak alam, tapi juga bagaimana ia dapat mendistorsi esensi manusia (1979: 134). Dengan demikian perkembangannya menjadi sebuah tantangan, teknologi membawa kebaruan yang bersifat artifisial yang kemudian mengubah esensi kemanusiaan dari manusia. Karena manusia pada dasarnya adalah alamiah, maka teknologi menjadi sumber yang lain yang mencerabut kealamiahan manusia. Karena ketercerabutan ini menurut Jonas pada akhirnya ia hanya membuat manusia menderita.
Karena manusia bertanggung jawab terhadap dirinya yang pada dasarnya bersifat alamiah, konsekuensinya dalam pemikiran Jonas diperlukan etika masa depan yang menjelaskan kewajiban manusia untuk bertanggung jawab terhadap alam. Etika tanggung jawab terhadap alam atau lingkungan dimana manusia hidup adalah sentral dalam filsafat Hans Jonas.
Etika baru Hans Jonas menerangkan bahwa etika klasik/tradisional tidak bisa menyelesaikan persoalan atau distorsi terhadap esensi yang dihasilkan oleh teknologi. Etika klasik seperti dijelaskannya berada dalam dimensi alamiah manusia, sedangkan fenomena kemajuan peradaban telah menempatkan esensi manusia berjarak dengan alam. Teknologi mendistorsi kealamiahan manusia.
Filsafat Jonas dapat ditafsirkan sebagai filsafat etika cyborg. Distorsi kealamiahan manusia dapat dipahami sebagai peralihan dari esensi yang manusia bersifat alamiah menuju yang esensi manusia sebagai bagian dari teknologi (cyborg). Distorsi esensi manusia yang tak terelakkan ini adalah kondisi cyborg. Jonas seperti kita ketahui bersifat pesimistis dengan kondisi ini. Manusia dengan segala potensi alamiahnya mesti mengantisipasi kondisi distorsi ini. Sikap bertanggung jawab terhadap alam menurutnya menjadi sikap etis dalam menanggapi distorsi teknologi, sikap yang menjadi nyata hanya dengan heuristic of fear atau kesadaran/antisipasi bahwa keberadaan teknologi di bumi pada akhirnya membawa pada kerusakan.
Don Ihde mengkritik pandangan pesimisme Hans Jonas. Menurutnya teknologi tidak selalu membawa keterasingan/distorsi pada esensi manusia atau kerusakan pada alam. Ia misalnya mencontohkan perkembangan obat-obatan yang dapat menghilangkan virus dalam tubuh manusia. Fakta ini menyatakan bahwa kondisi alamiah tidak selalu baik pada dirinya, teknologi dalam banyak hal menebus keterasingan masyarakat modern.
Bila kita telaah kondisi distorsi seperti dinyatakan oleh Jonas dapat kita lihat pada relasi manusia dengan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam banyak hal teknologi komunikasi dan informasi telah merubah paradigma bagaimana manusia memahami dunianya. Perasaan terasing, cemas, atau distorsi teknologis dalam istilah Jonas dalam kenyataannya terjadi dalam relasi manusia dan teknologi informasi dan komunikasi. Ketercerabutan ini menjadi nyata seiring dengan perkembangan teknologi internet dan terciptanya konsep ruangcyber.
Gabriel Marcel
Filsuf eksistensialis lainnya yang menanggapi fenomena teknologi adalah Gabriel Marcel (1889-1973). Pemikiran sentralnya adalah mengenai eksistensi manusia yang dijelaskan melalui filsafat tubuh. Gabriel Marcel meletakkan fondasi pemikiran tentang keutamaan tubuh yang menyejarah sebagai yang menentukan eksistensi manusia. Perkataan "aku adalah tubuhku" merupakan metafisika Gabriel Marcel tentang misteri "keberadaan" manusia di dunia.
Ada (atau keberadaan manusia) dan memiliki atau being and having adalah proposisi filosofis yang menerangkan eksistensi manusia sebagai tubuh dan kesadaran. Aku memiliki tubuhku menentukan keberadaan manusia sebagai makhluk berkesadaran. Pernyataan "tubuhku" menjelaskan bahwa tubuh yang bersifat material dimiliki oleh aku sebagai entitas metafisis.
Misteri kesadaran manusia berada dalam ketegangan metafisis antara tubuh dan aku sebagai kesatuan. Pernyataan bahwa manusia memiliki tubuhnya mengandaikan bahwa tubuh dan aku sebagai kesadaran adalah terpisah secara eksistensial. Namun ketika tubuhnya merasakan sakit diketahui bahwa tubuh dan aku menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Apa yang aku miliki (tubuh) integral dengan adanya aku (1949: 85). Marcel menganalogikan tubuh yang dimiliki dengan instrumen-instrumen teknologi yang digunakan dalam arti dimiliki oleh subjek (14). Namun dalam pernyataan aku memiliki tubuhku, aku dikatakan berada dalam dimensi yang melampaui materialitas tubuh. Marcel seperti para filsuf eksistensialis lainnya ingin menegaskan bahwa manusia tidak hanya tubuh materialnya, melainkan keberadaanya disyaratkan oleh entitas eksistensial yang menguasainya yang dijelaskan lewat pemikiran aku memiliki tubuhku
Keotentikan eksistensi manusia dalam pemikiran Marcel hanya dapat digapai dalam nilai-nilai spritualitas. Ia menyatakan bahwa keotentikan berada dalam kebersamaan (komunitas). Tidak seperti tren eksistensialisme lainnya yang cenderung mencerminkan sikap individualistis, soliter, atau dalam arti tertentu cenderung anti-sosial. Kebenaran eksistensial tidak akan didapat dengan semata-mata refleksi filosofis mendalam yang bersifat subjektif . Kebenaran eksistensial bersifat intersubjektif dalam komunitas.
Mengenai teknologi seperti para filsuf eksistensialis lainnya ia menjelaskan bahwa teknologi membuat manusia terasing dari nilai kemanusiaannya. Perkembangan teknologi telah menjadikan manusia semata-mata manusia teknis. Menurutnya hal ini bukanlah kondisi ideal manusia. Teknologi mencerabut nilai-nilai kesakralan/spritualitas, subjektivitas, dan keotentikan dalam diri manusia.
Teknologi dalam Dunia Islam
Peradaban Islam (terutama pada masa keemasannya) memiliki peran penting dalam kemajuan teknologi. Ilmuwan-ilmuwan Islam telah meletakkan fondasi yang kemudian berpengaruh terhadap perkembangan teknologi modern. Teknologi menjadi nyata sebagai artefak teknis dan instrumen dalam sains adalah tentunya dengan berdasar pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Berbagai ilmuwan Islam telah meletakkan fondasi teknologi modern. Ilmuwan-ilmuwan seperti Ibn Al-Haytham (905-1040), Al-Farabi (870-950), Ibn Firnas (810-887) dan banyak ilmuwan lainnya dikenal karena kontribusinya terhadap perkembangan teknologi modern.
Ibn Al-Haytham adalah ilmuwan Islam yang mengembangkan ilmu optik sebagai cabang ilmu dalam sains. Karyanya yang terkenal Al-Manajir menjadi rujukan banyak ilmuwan-ilmuwan setelahnya. Diskursus tentang optik ini tentunya berpengaruh sebagai basis teori penciptaan instrumen optik seperti teleskop dan mikroskop.
Al-Farabi membuat instrumen musik, Sahrud, seperti dituliskan dalam bukunya al-mūsīqī al-kabīr. Ia membuat rumus yang kemudian menentukan tinggi rendah nada sebuah instrumen musik. Pemikiran Al-Farabi menjadi rujukan instrumen musik modern seperti piano.
Ibn Firnas adalah ilmuwan pertama yang melakukan percobaan terbang dengan model pesawat glider dengan teori dan prinsip aerodinamis yang ia buat. Ibn Firnas mendahului percobaan Wright bersaudara. Selain itu ia juga menemukan kaca silika serta kaca murni tak berwarna, dan menemukan teknologi produksi kaca dari pasir dan batu-batuan.
Perkembangan teknologi dalam dunia Islam memang tidak senyata perkembangan teknologi di dunia Barat. Namun diskursus/pendidikan sains memberi tilikan tentang bagaimana dunia Islam mempunyai kontribusi terhadap terbentuknya infrastruktur teknologi modern.
Dalam Alquran diterangkan bahwa para nabi pun sebenarnya adalah teknolog. Misalnya Nabi Nuh yang membuat bahtera raksasa. Nabi Daud yang diajarkan oleh Allah membuat baju dari besi (QS. 21: 80). Nabi Dzulkarnaen yang melebur logam besi dan tembaga sebagai bahan untuk membangun tembok raksasa untuk melindungi suatu kaum dari serangan Ya'juj Ma'juj (QS. 18: 95-97). Nabi Ibrahim membuat Ka'bah. Atau Nabi Isa yang dikisahkan sebagai tukang kayu.
Namun bukan berarti teknologi itu sendiri adalah sebuah hikmah kenabian. Haman asisten Firaun yang tenggelam di laut merah, misalnya, adalah arsitek dan ahli bangunan yang membuat menara-menara tinggi dan piramida (QS. 28:18). Demikian pula Samiri yang melebur emas dan menjadikannya patung anak sapi yang dapat bersuara. Disebutkan dalam Alquran bahwa Samiri memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh kaum Nabi Musa yang diperolehnya dari jejak para rasul (QS. 20: 96).
Adalah menarik bahwa Nabi Muhammad tidak secara khas dikenal sebagai teknolog dalam arti pembuat artefak teknologi, namun kemampuan manajerialnya menempatkannya di atas para nabi yang sekaligus adalah teknolog. Seperti kita pahami manajemen adalah hal yang sangat pokok dalam penciptaan teknologi modern.
Referensi
Hartanto, Budi (2013). Dunia Pasca-Manusia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Penerbit Kepik, Depok.
Heidegger, M (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays. Penerjemah: W. Lovitt. Harper and Row. New York.
Ihde, Don (1979). Technic and Praxis. D Riedel Publishing Company. Holland dan Boston, USA.
Dusek, Val dan Scharff, Robert C. (2005). Philosophy of Technology (Blackwell Philosophy Guides). Wiley-Blackwell. Blackwell Philosophy Anthologies.
------- (2005). Philosophy of Technology: An Introduction. Blackwell Publishing, UK.
Marcel, Gabriel (1949). Being and Having. Harper and Row Publisher. New York.
Website: http://humanorigins.si.edu/evidence/behavior/handaxe-europe
-----------: http://www.wikipedia.org/